Thursday 30 March 2017

Menjadi Sales Buku

This is the story :)

Bunda suka membaca. Bunda suka buku. bahkan Bunda suka dengan aroma halaman baru dari buku yang baru dibeli.

Sejak Azka kecil, Bunda sudah tertarik menjadi sales buku. Dengan menjadi sales, Bunda bisa berlama-lama menatap iklan buku baru, lalu dipasarkan melalui media sosial. Sebenarnya Abi, Akung, dan Uti tidak meng-encourage buku yang Bunda jual. Karena bukunya berharga mahal, dan jarang orang, yang walaupun berpunya, inginmembeli buku. Ha..ha... Mungkin setipe Bunda saja kali ya, dengan tipe budget buku cekak tapi tetap senang membeli buku. Tapi, ada hal-hal seru yang membuat Bunda ingin terus memasarkan buku-buku yang berkualitas tinggi.

Jikalau bicara motivasi jualan buku, ada banyak jenisnya. Tiap orang beda-beda. kalau Bunda pribadi, akan coba mengelompokkan dari beberapa sisi.

Dari sisi ibadah.
Menjual buku bergizi adalah sarana dakwah atau sarana penyebaran kebaikan. Dan Bunda berharap ada pahala kebaikan di dalamnya. Karena sayang sekali apabila ada keluarga muslim yang suka membaca, tetapi mendapati bacaan yang minim konsep keislamannya.

Dari sisi parenting
Karena buku yang Bunda jual adalah buku Sirah Nabawiyah untuk anak-anak, dan sebagai sales Bunda musti paham sampai ke hati produk knowledgenya, maka ini menjadikan bunda jadi punya pijakan yang kuat, untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW menjadi role model untuk Bunda dan keluarga. Dan, karena segmentnya anak-anak, maka Bunda perlu belajar mengenai parenting, dan ini in sya Allah akan mempengaruhi Bunda untuk menjadi orang tua yang menyenangkan di hati anak-anak.

Dari sisi komersil. 
Hm...Menurut Bunda, komisi penjualan buku cukup besar, bisa sekitar 20% harga buku. Kalau dijalankan dengan serius, hasilnya lumayan untuk nambah saldo ATM. Kalaupun dijalankan santai, dapet order, Alhamdulillah bisa untuk jajan buku yang lain. he..he.. malah jika kita bisa menembus target tertentu, ada reward yang 'wah' dari penerbit.

Dari sisi kecerdasan
Ini dia yang seru... mengembangkan fungsi otak kanan. Sejak memutuskan serius di dunia pemasaran buku, Bunda jadi mengenal canva (web online untuk design), belajar foto flatlay dari tante Linda, belajar copywriter, dan masih banyak ruang teknis lain untuk dipelajari. ini bisa menjadi penyeimbang otak kiri Bunda yang sehari-harinya bertemu dengan tabel excel kotak-kotak. ha..ha..
(aszeli saat menulis ini, lagi bosan banget sama makhluk bernama excel. Mungkin kalo meminjam istilah para alay yang pacaran, bunda pengen break dulu dari excel. ha..ha..).

Jadi, itu semua motivasi Bunda menjadi sales buku.

Mudah-mudahan impiannya tercapai. Aamiin.

Althaf Alkhwarizmi Dwiherdi; Gestational Week 0 - Week 39

This is the story :)

Alm Althaf adalah kehamilan Bunda yang ke-3. Kehamilan pertama adalah Azka, kehamilan kedua abortus spontanea usia 6 weeks, dan sebulan kemudian Bunda langsung hamil Althaf.

Bismillah

Walau pahit karena harus mengungkap kembali kesalahan sendiri, namun tetap harus ditulis. Paling tidak, hati menjadi lega. Karena Bunda percaya, bahwa menulis adalah suatu bentuk terapi.

Setelah kehamilan kedua abortus spontanea itu, rasa sedih dan bersalah menggelayuti Bunda. Dan keguguran itu rasanya sakit. Walaupun tidak dikuret, tetapi Bunda harus minum obat untuk 'membersihkan' kandungan. Efeknya, perut Bunda terasa diremas-remas. Sakit. Mau istirahat tetapi tidak bisa, karena waktu itu Bunda masih tinggal di rumah Uti, dan tidak enak rasanya sama Uti jika Bunda tidur-tiduran sedangkan Uti berlelah meng-handle Azka.

Sejatinya Bunda ingin 'istirahat' dulu dari proses kehamilan. namun, dokter kandungan membolehkan, dan Abi juga berfikir tidak apa-apa, maka tidak ada upaya pencegahan kehamilan pasca keguguran itu. Lalu, Bunda pun hamil. Dihandle oleh dokter yang juga menangani kasus keguguran Bunda. Ada sedikit kesulitan untuk menghitung usia kandungan, karena Bunda tidak melewati fase menstruasi setelah keguguran.

Di sekitar week 12, kami menempati rumah kami di Jati Asih. Sebenarnya, Bunda pribadi, inginnya menempati rumah baru setelah melahirkan. Tetapi karena rumah sudah siap huni, tidak ada yang perlu ditunggu, dan Bunda juga tau ini adalah impiannya Abi untuk hidup mandiri tidak menumpang pada orang tua ataupun mertua, maka kami pun pindahan. Entah karena membaca buku bahwa pindahan rumah itu adalah suatu event yang  dapat mempengaruhi emosi, atau karena memang belum siap, Bunda cukup shock dengan kehidupan baru di rumah itu. Azka yang rewel karena harus berpisah dengan Uti Akung, PRT yang biasanya berurusan dengan Uti kali ini langsung berurusan dengan Bunda, dan yang paling parang, adalah ketidaksiapan untuk dipanggil sebagai 'Bu Hani' oleh orang sekitar. Karena sewaktu di rumah Uti, bunda dipanggil dengan nama Bunda, karena di situlah para tetangga mengenal masa kecil bunda hingga Bunda punya anak. He..he.. lucu jga ya. Ini memang impact dari ketidakmandirian Bunda pada waktu itu.

Week demi week berjalan. Sampai sekitar menjelang week 30, dr Dwi Rasyanti SpOG, mengindikasikan adanya gangguan dalam janin Bunda. Berat janinnya di bawah ukuran. Akhirnya diberikanlah Bunda vitamin, susu penambah berat badan (sejenis p*di*s*re) dan Bunda disuruh makan lebih banyak porsinya. Dua pekan setelahnya, Bunda kontrol lagi. Hasilnya tidak terlalu memuaskan. dr Dwi merekomendasikan Bunda untuk USG 4 dimensi atau fetomaternal. Sekanrionya adalah, jika memang ada masalah dengan janin, maka di week 33 Bunda akan diberikan suntikan penguatan paru, dan janin akan dilahirkan via induksi. dr Dwi memberikan surat pengantar ke dr ahli fetomaternal. Dengan tambahan kosa kata 'segera'.

Bicara kata induksi, ini kata yang traumatis untuk Bunda. Teringat lagi partusnya Azka yang harus diinduksi karena Bu Dokter ingin mempercepat proses partus karena keesokan harinya Beliau harus cuus ke India untuk seminar (rrgh.... kesal kalau ingat itu. Kesal akrena Bunda kurang ilmu dan tidak percaya diri untuk membiarkan proses partusnya berjalan normal). Impactnya adalah robekan akibat persalinannya sampai ke rectum, dan nyerinya luar biasa bertahan dalam dua pekan pasca melahirkan. 

Bunda dan Abi pun membuat janji dengan dr Saroyo. Tapi pemeriksaan itu tidak pernah terjadi. bunda mendapat antrian nomor 7. Beliau praktek malam hari. Yang seharusnya jam 19.00 sudah mulai praktek, hingga 19.30 belum juga dimulai. Abi sudah mulai gelisah. Mungkin karena lelah juga. Abi kasihan dengan Bunda, karena sudah malam, perjalanan pulang juga lumayan jauh, dan besok masih harus ngantor. Akhirnya kami urun memeriksakan diri. Tapi kami memutuskan untuk mencari second opinion ke dokter lain.

Akhir pekan itu, kami berangkat ke dr X di rumah sakit Y. kami jelaskan semua casenya. lalu cek USG, dan dr X menjelaskan bahwa bayinya tidak apa-apa. Ada beda perhitungan umur kandungan antara dr X dan dr Dwi Rasyanti. Hari-hari selanjutnya, kami kontrol ke dr X.

Dan tibalah di week 39, saat partus. Ini yang terjadi.
Semua adalah Qadarullah. Bisikan hati 'coba ya begini begitu', 'seharusnya ini itu', itu semua adalah ulah syaithon agar manusia surut keikhlasannya menerima takdir Allah.

Semoga yang membaca dapat mengambil pelajaran dari kisah ini. Aamiin.

Wednesday 29 March 2017

Althaf Alkhwarizmi Dwiherdi, Partus IUFD

This is the story :)

3 Agustus 2012, atau tepatnya 14 Ramadhan 1433 H, suka cita dan duka cita bersama-sama mengiringi Bunda dan Abi. Yess... hari itu adalah lahir putra kami yang ke-2, dari kehamilan Bunda yang ke-3.

Kami beri ia nama Althaf Alkhwarizmi Dwiherdi. Dengan harapan ia akan tumbuh menjadi seorang muslim yang lembut (Althaf) dan cerdas seperti ilmuwan bidang matemarika (Alkhwarizmi). Dan nama itu sekarang sudah tertulis di nisannya. Di TPU Rawa Kuning, tidak jauh dari rumah Akung dan Uti.

Lima tahun sudah berlalu, tapi menuliskannya tanpa membiarkan bulir bening bersemayam di mata sepertinya tidak mudah.

Bismillah

Jumat itu, pagi hari di pertengahan bulan Ramadhan, saat Bunda dan Abi bersiap berangkat ke kantor. Ramadhan itu, Bunda mungkin hanya berpuasa tujuh hari. Selebihnya, Bunda mengambil rukshah atau keringanan tidak berpuasa bagi ibu hamil. Saat mau berangkat, Bunda merasa perut tidak nyaman. Seperti perasaan mulas. Bunda berfikir, oh, mungkin salah makan saja. Di atas motor, Bunda pun merasakan mulas berulang. Tetapi tetap tidak berfikiran bahwa itu adalah tanda-tanda partus. Sampai di kantor, Bunda menjalankan hari seperti biasa. Pagi menjelang siang, setelah menghabiskan bekal sarapan di pantry, Bunda menyempatkan diri ke toilet. Dan ternyata sudah ada flek darah, yang berarti, itu adalah tanda partus. Langsung Bunda menelpon Abi, dan izin pada atasan, bahwa Bunda mau cek ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, Bunda mendaftar, langsung menuju ruang observasi. Dan di ruang inilah semua peristiwa penuh hikmah ini dimulai. Tiga orang bidan, dalam waktu tiga puluh menit, tidak dapat mendengar  denyut jantung bayi. Akhirnya diputuskan untuk diperiksa ke USG di dokter kandungan yang berpraktek di waktu itu. dengan dr Wulandari Ekasari SpOG. Antrian pasien Beliau banyak. Namun Bunda didahulukan, sepertinya keadaanya termasuk darurat, tetapi Bunda dan Abi tidak ngeh. lalu diperiksalah di ruang prakter dokter SpOG menggunakan USG yang lengkap dengan monitor screen. Dan... keterangan dr Wulan adalah... bayi kami sudah meninggal di dalam kandungan, mungkin sudah dua atau tiga hari yang lalu, terindikasi dengan adanya fraktur di pertemuan tulang tengkorak. Tetapi untuk memastikan, dr Wulan menyarankan kami untuk USG 4 dimensi.

Cukup lama antri di USG 4 dimensi, karena digunakan oleh pasien penyakit dalam. Selama menunggu itu, Abi shalat Jumat di masjid terdekat, dan Bunda menunggu sendiri, dengan rasa mulas yang semakin bertambah, dan air mata kecemasan yang mengalir tak terbendung. Sampai di ruangan, bidan membesarkan hati kami untuk tenang dan berdoa. Dan, tibalah kepastian itu. Di monitor tidak ditemukan detak jantung, tidak ditemukan aliran darah ke janin. kali itu Bunda nangis, sesenggukan. Bunda dan Abi saling memeluk, untuk saling menguatkan. Mencoba sabar, tabah, karena ini adalah ketetapan Allah yang penyikapan terbaiknya adalah ikhlas. Lalu, dr Wulan men-skenariokan untuk induksi, agar janin dapat lahir normal. Beliau tidak merekomendasikan operasi sesar karena Beliau tidak mau Bunda sakit fisik dan psikis, karena sang bayi tidak ada.

Di ruang persalinan, ternyata Bunda merasakan 'ajakan' untuk mengejan. Saat dr Wulan datang, diperiksa, ternyata Bunda sudah bukaan 6. Tidak perlu induksi karena bisa berakibat infeksi. Dan, lahirlah Althaf. Bayi yang sudah lemas tak berdaya. Bunda seakan tidak boleh berlama-lama menyaksikan bayi Althaf. Karena khawatir tangisan Bunda menjadi histeris. Tidak berapa lama, Althaf dimandikan, dan sudah diselimuti kain putih, dan diserahkan ke Bunda. Bunda kecup wajahnya, harum, dan lembut kulitnya. Mirip Azka saat ia lahir. Hidung dan bibirnya yang menjadi ciri khas semua anak kami.

Akung dan Eyang Joko (yang kebetulan sedang mampir ke rumah Akung) sudah sampai rmah sakit. Althaf dibawa, dan penyelenggaraan jenazahnya dilakukan malam itu juga, selepas shalat tarawih. Bunda masih harus berada di rumah sakit untuk observasi pasca persalinan, dan Abi yang menemani Bunda.

Keesokan harinya, keluarga berdatangan. Simpati mereka seakan menjadi charger untuk Bunda bangkit. Bahkan, atasan Bunda pun menjenguk, berdua dengan istri Beliau. Sungguh perhatian yang sangat special.

Tapi hari itu segala tentang bayi menjadi hal yang 'menyebalkan' untuk Bunda lihat. Ada seorang Ibu yang diiringi keluarganya, nampaknya lepas melahirkan juga. Jalannya pelan, lalu mereka didampingi perawat yang menggendong sang bayi. Sebuah taksi berhenti untuk menjemput keluarga itu. Ah... harusnya Bunda seperti itu. Membawa pulang seorang bayi laki-laki yang lucu. Bunda iri ... Bunda jealous... Bunda nangis.

Kamipun melanjutkan hari-hari selanjutnya dengan percaya bahwa waktu akan menyembuhkan fisik dan psikis kami. Tetap berharap karunia Allah akan hadir lagi di tengah Bunda dan Abi.

Periksa Maksiat Kita

This is the story :)

Dalam sebuah pengajian, ada sebuah kalimat yang menyadarkan Bunda untuk kembali 'grounded',

Kalimat sakti itu adalah.... Boleh jadi keinginan atau cita-cita kita belum tercapai / belum dimakbulkan oleh Allah SWT bukan karena kita kurang berdoa atau kurang bekerja. Mungkin bisa jadi karena maksiat yang kita lakukan, besar ataupubn kecil, sengaja ataupun tidak sengaja, lalu dibiarkan, sehingga menjadi pembiasaan.

Not too much word to say... Just do a major correction for all we've done.

Hijrah

This is the story :)

Hijrah.
Asal kata Hadjara yang maknanya bermacam-macam. Secara bahasa ada yang memaknai sebagai 'memutuskan'. Orang yang berbahasa Indonesia, apabila dikemukakan kata 'hijrah', maka ia akan mengasosiasi pada sesuatu hal yang berhubungan dengan perubahan / perpindahan.

Nabi Muhammad SAW pun berhijrah ke Madinah, untuk mecari kehidupan yang baik bagi ummatnya. Pada waktu itu di Mekkah, situasi sudah sangat tidak kondusif untuk berdakwah. Intimidasi, siksa, boikot, semua sudah dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan ummatnya. Tujuan hijrah ke Madinah juga bertujuan untuk menjaga keberlangsungan dakwah Islam.

Pemahaman lain mengenai hijrah yaitu merubah diri menjadi lebih baik. Dan ini, bisa jadi, ada comfort zone yang harus ditinggalkan.

Sungguh, hijrah ini membutuhkan azzam yang kuat, niat kuat karena Allah, tidak terkotori kekhawatiran dunia. Dan Bunda, secara pribadi memberikan penghormatan yang luar biasa pada teman-teman yang hijrah.

Ada teman yang cantik, dengan hijab yang modis, lalu hijrah dengan gamis dan kerudung panjangnya, serta membiarkan wajahnya polos tak ber-make up. Dan hijrah ini pastilah tidak luarnya saja, tetapi juga 'dalam'nya. Walaupun hanya bersua lewat media sosial, ada getar khusyu' yang Bunda rasakan pada teman-teman ini saat mereka berbicara atau memposting sesuatu di media sosial.

Ada teman yang menjual beragam benda elektronik berharga di rumahnya demi membereskan semua cicilan yang terindikasi riba. Begitu bertawakalnya pada Allah, sehingga tidak ada raut kesedian dan kekecewaan saat benda-benda tersebut berpindah tangan dan teman tadi tidak lagi menikmati fasilitas kemudahan dan kenyamanannya.

Daaannn.... ngga lucu kalau Bunda cuma nulis. Proses hijrah ini, harus dimulai, dijalankan, diresapi dengan hati. Pertolongan Allah itu dekat. Tugas utama adalah membersihkan hati kotor ini, dan mengaktifkan otak kanan untuk ga berucap : 'Ntar kalo begini gimana?', 'Misalkan begitu jadi apa?', Hanya azzam yang kuat yang menjadikan diri kita berhijrah kepada hal yang diridhoi Allah.


Powered By Blogger